Pinjam-meminjam adalah praktik umum yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Praktik ini dapat melibatkan berbagai hal, seperti meminjam buku, uang, peralatan, atau bahkan waktu dan perhatian. Namun, apakah pinjam-meminjam yang kita lakukan sudah sesuai dengan syariat Islam? Sejauh mana kita tahu tentang hukum pinjam-meminjam? Apakah syarat meminjam dan bagaimana ketentuan meminjam barang? Ternyata, hal tersebut dapat kita pelajari dalam buku “Fathul Qarib”.
Dalam “Fathul Qarib” karya Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, pinjam-meminjam diistilahkan sebagai ‘ariyah. Kata ‘Ariyyah sendiri merupakan turunan dari kata ‘ara yang dalam bahasa Arab berarti pergi.
Hakikat ‘ariyyah secara syariah adalah izin untuk memanfaatkan yang dilakukan oleh orang yang sah terhadap sesuatu yang halal untuk dimanfaatkan tanpa mengurangi barangnya agar bisa dikembalikan pada pemiliknya.
Syarat Orang yang Meminjamkan
Salah satu syarat penting adalah orang yang meminjamkan harus memiliki kepemilikan yang sah terhadap barang yang akan dipinjamkan. Artinya, orang tersebut harus memiliki hak kepemilikan dan hak manfaat atas barang tersebut. Orang yang tidak memiliki kepemilikan yang sah, seperti anak kecil atau orang gila, tidak boleh meminjamkan barang secara sah.
Syarat Barang Pinjaman
Selain itu, barang pinjaman haruslah barang yang dapat menjadi manfaat tanpa mengurangi nilai atau kualitasnya. Artinya, barang pinjaman harus tetap utuh dan tidak rusak karena penggunaannya.
Ada juga beberapa pengecualian, seperti alat musik yang tidak boleh jadi pinjaman, dan barang-barang yang manfaatnya bukan dari barang tersebut (atsar), seperti kambing untuk diambil susunya, juga tidak boleh menjadi barang pinjaman.
Waktu Peminjaman
Pada bagian waktu peminjaman, ada fleksibilitas dalam melakukan akad ‘ariyyah. Akad ini dapat berlaku dengan cara yang tidak terbatas oleh waktu tertentu, atau dapat pula terbatas dengan waktu tertentu. Misalnya, dalam jangka waktu seminggu atau sebulan. Orang yang meminjamkan memiliki hak untuk menarik kembali barang yang dipinjamkan dalam dua situasi tersebut, sesuai kehendaknya.
Jika Barang Pinjaman Rusak
Dalam hal barang pinjaman mengalami kerusakan, jika kerusakan terjadi karena penggunaan yang tidak berizin, maka orang yang meminjam harus menggantinya dengan memberikan ganti rugi berdasarkan harga barang pada saat kerusakan terjadi. Namun, harga yang berlaku sebagai pengganti bukanlah harga saat meminjam barang atau harga tertinggi, melainkan harga pada saat barang tersebut rusak.
Namun, jika kerusakan terjadi karena penggunaan yang telah berizin, seperti ketika meminjamkan baju yang kemudian terlihat jelek atau sobek karena penggunaan. Maka, tidak ada kewajiban bagi orang yang meminjam untuk menggantinya.
Buku “Fathul Qarib” memberikan pemahaman yang jelas dan rinci tentang hukum dan ketentuan yang terkait dengan pinjam-meminjam. Dalam buku ini, kita dapat menemukan panduan dan penjelasan yang mendalam mengenai praktik ‘ariyyah, sehingga kita dapat melaksanakannya dengan memahami dan memenuhi syarat-syarat ketentuan.
Melalui pemahaman yang lebih baik tentang hukum dan ketentuan pinjam-meminjam, kita dapat menjaga hubungan yang sehat dan adil dengan sesama. Selain pinjam-meminjam, “Fathul Qarib” juga membahas banyak hukum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.