Tentang buku The Great Gatsby
The Great Gatsby bukan sekadar roman cinta tragis berlatar pesta-pesta glamor era Jazz Age. Novel tipis ini adalah karya yang menyingkap isi jantung Amerika modern: pencarian identitas melalui harta, kekuasaan, dan ilusi akan masa lalu. Ditulis oleh F. Scott Fitzgerald dan diterbitkan pada tahun 1925, kisah ini adalah semacam eulogi untuk impian Amerika yang telah tereduksi menjadi angka-angka dalam rekening bank dan harga saham, dan sebuah elegi tentang manusia yang tenggelam dalam imajinasi cinta dan masa lalu yang tak bisa diulang.
Narator dalam kisah ini, Nick Carraway, adalah figur kunci. Seorang pengamat yang mengaku objektif, tapi lambat laun terseret secara emosional ke dalam pusaran kehidupan orang-orang kaya di East Egg dan West Egg. Melalui mata Nick, pembaca diajak mengenali Jay Gatsby, miliuner eksentrik dengan pesta spektakuler dan rahasia hidup yang gelap. Gatsby tak sekadar tokoh fiksi; ia adalah representasi alegoris dari mitos keberhasilan Amerika. Namun, juga simbol dari kehampaan eksistensial yang muncul ketika hidup hanya didefinisikan oleh pencapaian materi dan pengakuan sosial.
Gatsby mencintai Daisy Buchanan, wanita yang dulu ia cintai sebelum berperang. Daisy adalah objek dari seluruh narasi Gatsby: rumah megahnya, pesta tak berujung, dan reputasi yang dibangunnya adalah bentuk investasi demi satu hal, yakni mendapatkan kembali cinta Daisy. Akan tetapi, di sinilah Fitzgerald meletakkan pisau analisisnya: cinta Gatsby bukan cinta yang aktual, melainkan cinta pada citra. Gatsby mencintai Daisy versi masa lalu, versi dalam ingatannya, bukan Daisy yang nyata seorang perempuan manja, apatis, dan terperangkap dalam kehidupan borjuasi yang kosong.
Harapan yang tak direstui
Secara sosiologis, novel ini menunjukkan gesekan antara “old money” (uang warisan) dan “new money” (kekayaan baru). Tom dan Daisy Buchanan mewakili kelas lama yang eksklusif dan penuh privilese, sementara Gatsby mewakili orang luar yang mencoba menembus batasan sosial melalui akumulasi kekayaan. Namun, upaya ini sia-sia. Tak peduli seberapa besar kekayaan Gatsby, ia tetap dianggap tidak cukup “berkelas”. Fitzgerald dengan cerdas menunjukkan bahwa di balik janji “American Dream” ada benteng sosial yang tak mudah runtuh. Impian itu, bagi sebagian orang, sejak awal sudah cacat lahir.
Kritik Fitzgerald juga sangat tajam terhadap zaman yang ia hidup di dalamnya. Era 1920-an di Amerika ditandai oleh ekspansi ekonomi, pelarangan alkohol (prohibition), dan ledakan budaya pop, tetapi juga oleh kekosongan spiritual, nihilisme moral, dan pencarian jati diri melalui hal-hal permukaan. Novel ini seperti cermin retak yang memantulkan wajah masyarakat hedonistik yang dipenuhi oleh pelarian, pesta, dan kemunafikan. Tidak mengherankan jika banyak kritikus menyebut The Great Gatsby sebagai teks kanonik yang menelanjangi wajah kapitalisme Amerika yang berselimut gemerlap, namun menyimpan kehancuran dalam jantungnya.
Simbolisme adalah kekuatan estetika utama dalam novel ini. Cahaya hijau di ujung dermaga rumah Daisy menjadi simbol harapan yang tak tergapai, semacam ideal yang selalu menjauh ketika didekati. Gatsby, setiap malam, menatap cahaya itu seperti seorang pemuja yang tak pernah kehilangan keyakinan akan mukjizat. Namun, cahaya hijau itu juga adalah simbol dari tipuan. Ia bukan kenyataan, tetapi ilusi; bukan masa depan, melainkan penyesalan yang dibungkus harapan. Ini adalah alegori tentang bagaimana impian kita sering kali dibangun dari fondasi yang rapuh: kenangan, keinginan, dan ketakutan akan kehilangan.
Fitzgerald juga mempermainkan batas antara yang terlihat dan yang sejati. Para tokohnya menjalani hidup sosial yang penuh glamor dan sopan santun, tetapi kosong dan destruktif di baliknya. Tom berselingkuh terang-terangan, Daisy bersikap ambigu, Gatsby menutupi masa lalunya, dan semua orang hadir di pesta-pesta Gatsby, tetapi tak seorang pun hadir saat ia dimakamkan. Kesendirian Gatsby di akhir cerita adalah klimaks moral dari novel ini. Ia telah memberikan seluruh hidupnya untuk membangun satu harapan, tetapi dunia membalasnya dengan pengabaian dan pelupaan.
Kenapa harus baca buku ini?
Secara filosofis, The Great Gatsby dapat dibaca melalui lensa eksistensialisme. Gatsby adalah manusia yang berjuang menciptakan makna hidupnya sendiri, meski dunia di sekitarnya absurd dan tidak adil. Ia berusaha menjadi “seseorang” dari James Gatz yang miskin menjadi Jay Gatsby yang luar biasa kaya dan karismatik. Tapi, dalam gaya Kierkegaardian, transformasi ini tidak menyelamatkannya, justru membawanya menuju kehancuran karena identitas barunya tidak pernah benar-benar diterima oleh dunia yang ingin ia masuki.
Bahasa Fitzgerald adalah alat bedah yang sangat halus. Kalimat-kalimatnya puitis tanpa kehilangan ketajaman. Ia bisa menulis tentang pesta dengan kemegahan Shakespearean, lalu menghantam pembaca dengan satu kalimat getir yang membuka makna seluruh adegan. Narasinya tidak berisik, tetapi menusuk. Ia tidak menawarkan moralitas hitam-putih, tetapi ambiguitas yang sangat manusiawi.
Apa yang membuat The Great Gatsby tetap relevan seratus tahun kemudian? Jawabannya ada pada kenyataan bahwa dunia kita hari ini, dengan segala kemewahan digital, pencitraan media sosial, dan obsesi terhadap status, tidak jauh berbeda dari East Egg dan West Egg. Banyak orang masih menilai keberhasilan dari mobil yang dikendarai, rumah yang dihuni, atau jumlah pengikut di Instagram. Cinta pun sering kali diselewengkan menjadi transaksi sosial, dan masa lalu, sebagaimana Gatsby percayai, masih terus kita perjuangkan untuk bisa “diulang”.
Fitzgerald tak sedang mengejek manusia yang bermimpi, melainkan menaruh simpati mendalam pada mereka. Gatsby bukan hanya simbol dari kegagalan, tapi juga dari keberanian untuk bermimpi melawan arus dunia. Kalimat penutup novel ini, salah satu yang paling indah dan memilukan dalam sejarah sastra, menyimpulkan esensi itu: “So we beat on, boats against the current, borne back ceaselessly into the past.” Di situ, ada pengakuan bahwa kita semua adalah perahu-perahu mungil yang terus mendayung melawan arus, mencoba maju, tapi selalu digiring kembali oleh arus waktu dan kenangan. Tapi kita tetap mendayung; itulah tragedi sekaligus keagungan manusia.
Dengan kekuatan puitis, ketajaman kritik sosial, dan kompleksitas psikologis, The Great Gatsby tidak hanya menawarkan cerita, tetapi juga cermin reflektif atas siapa kita, apa yang kita dambakan, dan seberapa dalam kita tenggelam dalam mimpi-mimpi yang tak selalu bisa diwujudkan. Inilah novel yang seharusnya dibaca berulang kali, karena setiap kali dibuka, kita akan selalu menemukan makna baru yang mengendap di antara cahaya hijau dan malam-malam pesta yang tak berujung.
BACA JUGA: The Sentence: Kisah Pribumi, Luka Sejarah, dan Ketahanan Hidup yang Tak Padam
Identitas Buku
Judul Asli: The Great Gatsby
Pengarang: F. Scott Fitzgerald (Penulis Amerika)
Tanggal Terbit Pertama: 10 April 1925
Jenis Karya: Novel
Genre: Fiksi Klasik, Literatur Amerika, Fiksi Sejarah
Penulis Resensi: T.H. Hari Sucahyo